Megawati vs Rachmawati...ada apa dibalik keluarga SOEKARNO
Rahmawati menyerang Jokowi itu cerita baru. Yang lebih lama merupakan Rachmawati menyerang Megawati. Apa yang sesungguhnya terjadi diantara 2 putri Sukarno ini?
PastiBayar - Rachmawati Soekarno Putri di tangkap kepolisian. Ia tidak cuma di tangkap, tetapi dijadikan tersangka dugaan permufakatan jahat melaksanakan makar. Anak ketiga Bung Karno ini di tangkap berbarengan sembilan orang yang lain beberapa jam sebelum saat Aksi Bela Islam jilid 3 pada 2 Desember 2016.
Rachmawati memang bersikap keras terhadap pemerintahan Joko Widodo. Bahkan sejak mulai masa kampanye penentuan presiden 2014, Rachma menyerang Jokowi dengan sangat agresif. Ia rela meninggalkan Partai Nasdem yang memilih memberi dukungan Jokowi dan menyeberang ke Partai Gerindra seraya memberi dukungan Prabowo Subianto.
Kendati demikian, kebanyakan orang tahu bahwa serangan Rachma sebenarnya justru ditujukan terhadap kakaknya, Megawati, Ketua Umum PDI Perjuangan. Serangan Rachma pada Jokowi, pada prinsipnya, merupakan serangan juga pada Megawati. Serta itu udah ia kerjakan jauh sebelum Jokowi jadi presiden, bahkan sebelum nama Joko Widodo muncul di Solo.
Konflik di internal Sukarno memang bukan barang baru. Dan konflik itu tdk cuma berlangsung antara Rachma dan Mega, tetapi juga Sukmawati Sokarno Putri. Namun demikian, serangan Sukmawati terhadap Mega memang tidak seterbuka dan seintens yang dilakukan Rachma.
Melanggar Konsensus Keluarga?
Rachma menganggap kakaknya telah melanggar konsensus keluarga. Pelanggaran itulah yang, buat Rachma, menjadi pemicu paling utama konflik keduanya.
Semuanya berasal pada Pemilu tahun 1977. Saat itu, Orde Baru memaksakan dipraktikkannya penyederhanaan peserta Pemilu cuma menjadi tiga peserta yakni Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) serta Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Partai-partai berhaluan Islam dipaksa melebur kedalam PPP serta partai-partai nasionalis (dan berhaluan Kristen dan Katolik) dipaksa fusi ke dalam PDI.
Salah satu yang dileburkan menjadi PDI adalah Partai Nasional Indonesia, partai yang di besarkan oleh Sukarno. Pada Pemilu 1977 itu, PDI memperoleh perolehan 29 kursi di DPR-RI. Tetapi, pada Pemilu selanjutnya, 1983, PDI dibawah kepemimpinan Soerjadi cuma mendapatkan 24 kursi saja.
Menyongsong Pemilu 1987, Soerjadi mencari langkah untuk menambah popularitas partainya. Dibawah dorongan kuat Rezim Orde Baru, Soerjadi menganggap salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah menyalakan kembali basis massa Sukarno. Oleh karena itu dia meminang trah Sukarno, yaitu Guntur Soekarnoputra, Megawati, dan Guruh Soekarnoputra untuk bergabung dengan PDI. Mereka bertiga menerima ajakan Soerjadi.
Tetapi dibalik itu, ada konsensus keluarga yang udah di buat jauh sebelumnya itu. Berdasar pada kajian Hadi Mustafa berjudul “Kepemimpinan Karismatik : Studi Tentang Kepemimpinan Politik Megawati Soekarnoputri Dalam PDIP, ” trah Sukarno punya perjanjian menjauhi dunia politik.
Penyebabnya adalah phobia begitu dalam atas kudeta yang menerpa papa mereka. Alasan penguat yang lain adalah, waktu itu tidak ada satupun partai politik yang berlandaskan ideologi bentukan Sukarno, Marhaenisme. Peluang untuk bikin partai atau terjun kedalam politik cuma bisa dilaksanakan andaikan Soeharto sudah tumbang.
Perjanjian itu di setujui dengan bulat, baik oleh semua keturunan Sukarno dari istri ke-3, Fatmawati, ataupun keturunan dari istri-istri yang lain. Namun konsensus itu dilanggar saat Megawati terima pinangan Soerjadi untuk bergabung dengan PDI.
Megawati di beri jabatan sebagai Wakil Ketua DPC PDIP Jakarta Pusat. Mitos Megawati sebagai duplikasi Sukarno jadi bahan promosi paling utama. Megawati juga diberikan peluang menjadi juru kampanye PDIP. Meski di kenal tdk banyak bicara, tetapi dia dianggap menjadi salah satu sendi untuk mendongkrak citra partai. Hal itu berkat nama besar Sukarno melekat pada Megawati.
Atas pembacaan politik bahwa suara partai Sukarno, PNI memiliki dukungan yang kuat di Jawa Tengah, maka Megawati dijadikan calon legislatif di DPR. Caranya dengan menempatkan Megawati sebagai anggota DPR Dapil Jawa Tengah.
Akhirnya, dia dengan mudah melanggeng ke ruang legislatif. Kemenangannya juga meningkatkan suara partai yang dideklarasikan pada 1973, tiga tahun setelah Sukarno meninggal dunia itu, meningkat drastis di Jawa Tengah. Perolehan kursi PDI bertambah menjadi 40 kursi pada Pemilu 1987.
Namun Soerjadi menegaskan Megawati tdk dapat mengotak-atik sistim internal partainya. Soerjadi tdk berikan porsi Megawati sebagai pengurus dalam susunan DPP ataupun Fraksi PDI di DPR. Namun Megawati cuma diplot sebagai juru bicara fraksi PDIP di DPR. Megawati yang pasif dalam merespons kenyataan sosial dan tdk pandai menangkal serangan politik rival partainya, tdk dianggap sebagai masalah.
Pada tahun 26 Desember 1993, Soerjadi terpilih kembali menjadi ketua umum pada Kongres PDI di Medan. Namun rezim Orde Baru tdk senang dengan hal itu. Sebab Soerjadi terbukti bisa menambah citra PDI terlepas dari apapun langkahnya. Jika dibiarkan begitu saja, suara Golkar terancam.
Oleh karena itu Soeharto berusaha membentuk Kongres Luar Biasa PDIP di Surabaya. Namun Soeharto kembali kaget, Soerjadi berhasil dibendung, namun yang muncul malah anak rival politiknya, Megawati. Soeharto khawatir kekuatan Sukarno menyala kembali.
Kubu Soerjadi pun menggelar Kongres PDI di Medan. Pada 23 Juni 1996, sesuai settingan, Soerjadi menang. Lantas Soeharto mengklaim bahwa ketua umum PDI yang sah secara hukum adalah Soerjadi.
Pada 1996, partai PDI diacak-acak oleh Rezim Orde Baru. Partai itu dibelah dua, antara yang Pro-Megawati dengan yang Pro-Soerjadi yang di dukung Soeharto. Dampaknya berlangsung peristiwa berebut Kantor PDIP. Hingga pada akhirnya kantor itu di serang massa kiriman Soeharto yang selanjutnya dikatakan sebagai momen Kudatuli.
Sampai Pemilu 1997 jadi awal untuk kehancuran partai. PDI cuma mampu mengantongi sejumlah 11 kursi di DPR. Sebab Megawai menginstruksikan kepada seluruh loyalisnya untuk golput. Suara PDI saat itu beralih pada PPP.
Satu tahun sesudah Soeharto tumbang, Megawati mendeklarasikan berdirinya PDI Perjuangan. Logonya mirip PDI namun logo banteng dibuat lebih gemuk. Ketika ikut Pemilu pada 1999, PDI Perjuangan 153 kursi.
0 komentar:
Posting Komentar